Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.
Seperti Judul Lagu Slank “Birokrasi Komplek” Tiga Periode
9 jam lalu
Slank pernah menyanyikan “Birokrasi Kompleks”, sebuah sindiran pada tumpukan aturan dan kekuasaan yang membelit rakyat kecil. Analogi ini tepat.
Oleh : Ahmad Wansa Al-faiz
Opini
Demokrasi yang Tergelincir ke Birokrasi Dinasti
Slank pernah menyanyikan lagu Birokrasi Kompleks, sebuah sindiran pada tumpukan aturan dan kekuasaan yang membelit rakyat kecil. Analogi ini tepat untuk menggambarkan wacana tiga periode yang pernah digulirkan Muhammad Qodari: gagasan yang memperlihatkan bukan simplifikasi birokrasi untuk rakyat, melainkan kompleksitas politik yang diciptakan demi elite.
Jika demokrasi harus tunduk pada logika perpanjangan jabatan, maka kita sedang menyaksikan transformasi - birokrasi menjadi dinasti. Dinasti politik yang mestinya hanya identik dengan monarki malah menjadi praktik nyata dalam republik.
Dari Reformasi ke Deformasi
Pasca-reformasi, dua periode adalah hasil kompromi historis: rakyat ingin membatasi konsentrasi kekuasaan agar tak jatuh ke otoritarianisme seperti Orde Baru. Tetapi gagasan tiga periode justru merusak konsensus itu. Alih-alih menyalurkan aspirasi rakyat, gagasan ini memperlihatkan deformasi demokrasi dimana aturan main demokratis dipelintir demi fungsi monarki terselubung. Di titik ini, demokrasi bukan lagi asas sosial yang menjamin partisipasi setara, melainkan instrumen reproduksi kekuasaan.
Pelantikan Qodari : Ironi Reformasi
Pelantikan Muhammad Qodari sebagai Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) oleh Presiden Prabowo pada 17 September 2025⁽¹⁾ mempertegas ironi politik kontemporer. Sosok yang dikenal sebagai pencetus ide tiga periode justru kini mengelola jantung koordinasi kekuasaan.
Kritik publik, termasuk Rocky Gerung, menilai langkah ini sebagai pengabaian aspirasi reformasi dan demokrasi.⁽²⁾ Artinya, birokrasi negara kini tidak sekadar kompleks—ia sedang bertransformasi menjadi instrumen dinasti: satu lingkar elite yang saling menopang, tanpa ruang segar bagi suara rakyat.
Fungsi Monarki, Bukan Asas Sosial.
Di dalam monarki, kekuasaan diwariskan atau dipertahankan dengan narasi stabilitas. Persis seperti alasan yang dipakai Qodari saat melontarkan gagasan tiga periode: demi meredam polarisasi.⁽³⁾ Padahal, demokrasi sejati bukan soal stabilitas di atas kompromi elite, tetapi keadilan di mata rakyat.
Dengan logika monarki terselubung itu, rakyat tidak lagi diposisikan sebagai subjek. Mereka sekadar penonton dalam panggung politik birokrasi dinasti.
Birokrasi Kompleks Jadi Nyanyian Politik
Slank bernyanyi dengan nada perlawanan terhadap sistem yang berbelit. Kini, wacana tiga periode membuat lagu itu seolah menemukan konteks baru. Demokrasi Indonesia sedang diuji: apakah tetap menjadi asas sosial yang menyejahterakan rakyat, atau berubah menjadi fungsi monarki yang melanggengkan kekuasaan elite. Tiga periode bukanlah demokrasi, melainkan jalan pintas menuju birokrasi dinasti, politik yang jauh dari cita-cita reformasi.
Catatan Kaki.
1. “Prabowo Lantik Muhammad Qodari Sebagai Kepala KSP,” berbagai media nasional, 17 September 2025.
2. Rocky Gerung menilai pelantikan Qodari sebagai tanda bahwa Prabowo mengabaikan semangat demokrasi. Lihat: [Depokraya](https://depokraya.pikiran-rakyat.com/politik/pr-3299663794/rocky-gerung-soroti-penunjukan-m-qodari-sebagai-kepala-ksp-prabowo-dinilai-tak-paham-demokrasi-dan-abaikan-re).
3. Qodari sebelumnya menggagas gerakan “JokPro 2024” sebagai jalan tengah untuk polarisasi politik, yang memerlukan perpanjangan jabatan tiga periode.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler